Tertulis dalam suatu prasasti bahwa Shri Prabu di Majalengka mempunyai tujuh orang Darmaputra yang amat disayanginya. Mereka yang terpilih yaitu : Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedang, Ra Yuyu, Ra Pangsa dan Ra Banyak. Diantara Darmaputra tersebut, Ra Kuti-lah yang terlihat paling unggul. Keunggulan Ra Kuti menimbulkan tekad baginya untuk berupaya menggantikan kedudukan Raja di Majapahit. Demikianlah Ra Kuti selalu berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Raja serta selalu berusaha untuk dekat dengan Raja.
Sebetulnya Ra Kuti sudah amat ingin untuk memangkatkan Sang Prabu, karena telah menjadi penyebab meninggalnya sang istri dan telah merusak rumah tangganya. Untuk bisa berdekatan dengan Raja, Ra Kuti mengatakan dengan terus terang membeberkan kelicinan Mahapati yang selalu membuat laporan palsu dan menyebar fitnah untuk menanamkan permusuhan di dalam istana Majapahit.
Shri Raja amat marah, Ra Kuti ditugaskan untuk menangkap Sang Mahapati. Mahapati yang waspada akan datangnya bahaya segera keluar dari kepatihan untuk lari mengungsi, masuk ke hutan dan mati dalam kenisthaan. Alkisah yang ada di padhepokan Pandanwangi, Pendeta Damarjati sedang berbincang-bincang dengan ibunda Ra Kuti, yaitu Nyai Sureng-rono. Yang menjadi topik perbincangan adalah mengenai kedua putra yang berlawanan keinginan. Ra Kuti putra pertama amat tinggi cita-citanya, ingin menjabat sebagai Raja. Sedangkan Kanaka si bungsu amat setia pada Raja dan Majapahit seisinya.
Ditengah-tengah mereka berbincang datanglah Ra Kuti yang sedang memulai niatnya untuk memberontak. Niatan Ra Kuti yang seperti itu tidak disetujui oleh Sang Paman Empu Damarjati. Sehingga terjadilah silang pendapat antara Ra Kuti dan Empu Damarjati. Ra Kuti yang mendapat dukungan dari ibunya, dengan berani menyerang Empu Damarjati. Empu Damarjati ditendangnya hingga terlempar keluar dari Padhepokan. Dengan serta merta berkatalah Empu Damarjati yang pendiam itu, bahwa Ra Kuti akan mati ditangan Gajah yang lepas dari tali ikatan.
Belum reda amarah Ra Kuti, namun terhenti oleh datangnya Kanaka yang tidak dapat menerima tindakan Ra Kuti terhadap Empu Damarjati. Terjadilah perselisihan antara kedua saudara keturunan darah Surengrono tersebut dan perkelahian tak dapat dihindarkan. Belum ada yang menang dan kalah dalam perkelahian itu, segera Nyai Surengrono melerai mereka. Ra Kuti dan Kanaka berpisah saling mempertahankan pendapat masing-masing. Ra Kuti merasa tak ada penghalang lagi, dia mengira bahwa para Darmaputra sudah tidak ada yang patuh pada Shri Raja. Sehingga Ra Kuti membentuk barisan bawah tanah guna memangkatkan Sang Prabu.
Di suatu malam yang dingin, Ra Kuti dan teman-temanya memaksa masuk ke istana. Seketika gempar yang ada didalamnya. Para Senopati perang yang sedang tidur pulas banyak yang menjadi korban keganasan pedang Ra Kuti dan teman-temannya. Alkisah ada seorang pemimpin pasukan pengawal Raja, muda belia, gagah perkasa. Satria utama. Rahangnya kuat, bahu kekar, dada lebar mengkilap, kulit yang merah bak tembaga seakan bersinar dan tak mempan senjata. Dialah Gajah Mada.
Waspada akan adanya keributan diluar, pimpinan pengawal Raja sang “Gajah” laksanaa lepas dari ikatan, segera masuk kedalam kamar tidur Sang Prabu. Prabu Jayanegara yang masih tidur pulas segera diangkat dan dibawa lari mengungsi, diikuti oleh para prajurit pengawal Raja yang masih setia. Ra Kuti Sang Pendendam takkan lega hatinya sebelum bisa memangkatkan Shri Jayanegara. Akhirnya dia berusaha sekuat tenaga untuk mengejar dan menemukan Shri Jayanegara.
Kisah ini mengambil latar belakang di daerah Pajarakan, atau sekarang lebih dikenal sebagai Kabupaten Probolinggo. Pajarakan adalah daerah asal Ra Kuti, salah satu dari tujuh Dharmaputra bentukan Raden Wijaya. Dharmaputra sendiri adalah jabatan yang diberikan kepada Raden Wijaya, raja pertama Kerajaan Majapahit dan berisi pegawai-pegawai istimewa yang disayangi raja. Adapun ketujuh Dharmaputra tersebut adalah Ra Kuti, Ra Semi, Ra Tanca, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Banyak dan Ra Pangsa. Dan kesemuanya tewas dalam pemberontakan pada masa pemerintahan Jayanegara, raja kedua Majapahit setelah Raden Wijaya.
Kidung Sorandaka menyebutkan pada tahun 1316 ayah Patih Nambi yang bernama Pranaraja meninggal dunia di Lumajang. Ra Semi ikut dalam rombongan pelayat dari Majapahit. Patih Nambi difitnah melakukan pemberontakan oleh Mahapati yang licik. Karena sang raja, Jayanegara, terlanjur percaya kepada hasutan Mahapati, ia pun mengirim pasukan untuk menghukum Nambi. Saat pasukan Majapahit datang menyerang, Ra Semi yang masih berada di Lumajang bersama anggota rombongan lainnya mau tidak mau bergabung membela Nambi. Akhirnya, Nambi dikisahkan terbunuh beserta seluruh pendukungnya, termasuk Ra Semi.
Kitab Pararaton selanjutnya mengisahkan adanya pemberontakan selanjutnya yang dipimpin Ra Kuti pada tahun 1319. Pemberontakan ini terjadi langsung di ibu kota Majapahit dan jauh lebih berbahaya dibandingkan pemberontakan Ra Semi. Meskipun demikian, Jayanagara sekeluarga berhasil melarikan diri dengan dikawal para prajurit bhayangkari yang dipimpin seorang bekel bernama Gajah Mada. Setelah mengamankan rajanya di desa Badander, Gajah Mada kembali ke ibu kota untuk mencari dukungan dari para pejabat dan juga rakyat di ibukota. Setelah meyakini kalau pemberontakan Ra Kuti ternyata tidak mendapat dukungan rakyat, maka Gajah Mada pun berhasil memusnahkan gerombolan Ra Kuti.
Setidaknya itulah yang diyakini oleh Gadjah Mada dan Mahapati. Bahwa Ra Kuti dan Ra Semi sudah mati. Namun mereka memang tidak pernah menemukan mayat mereka berdua. Dan baru-baru ini mereka terlihat di lautan pasir Pegunungan Bromo, keluar dari persembunyian mereka setelah beratus-ratus tahun lamanya
Komentar
Posting Komentar