Mohamad Ibnu Sayuti, dilahirkan pada 22 November 1908 di Sleman, Yogyakarta, dan meninggal dunia pada 27 Februari 1989 di umurnya yang ke-80 tahun di Jakarta, Sayuti berasal dari keluarga cukup berpengaruh di desanya, Ayahnya, Abdul Mu’in alias Partoprawito, adalah seorang kepala desa dan ibunya bernama Sumilah. Dari ayahnya Sayuti banyak belajar tentang nasionalisme dan bagaimana pentingnya bebas dari penjajahan. Ayahnya sering kali menentang kebijakan-kebijakan Belanda, seperti penolakan terhadap sawahnya yang hendak ditanami tembakau oleh pemerintah Belanda.
Masa kecil Sayuti dilewati tak jauh-jauh dari tanah kelahirannya, ia menempuh pendidikan dasar di sekolah Ongko Loro (setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV dan diteruskan sampai mendapat ijazah di Yogyakarta. Lalu pendidikan Sayuti dilanjutkan di solo (1920-1924). Dan selama di Solo Sayuti banyak berintraksi dengan orang-orang yang berhaluan Marxisme seperti Kiai Misbach, salah satu tokoh Islam kiri. Ketika itu banyak orang, termasuk tokoh Islam, memandang Marxisme sebagai idiologi perjuangan untuk menentang penjajahan. Dari Kiai Misbach, Sayuti belajar Marxisme.
Perkenalan yang pertama dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada tahun 1926. Perjuangan Sayuti juga melaui tulisan-tulisannya di beberapa media massa pada masanya. Sayuti pernah mendirikan koran pesat di Semarang yang mana terbitnya tiga kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. Koran itu didirikan bersama istrinya, SK Trimurti yang dinikahinya pada 19 Juli 1938. Mereka menikah usai Sayuti menjalani dua masa pembungan yaitu di Boven Digul (1927-1933) karena dituduh membantu Partai Komunis Indonesia (PKI), kemudian pembungan yang ke dua di Singapura tahun (1936), dan dimasukkan sel di Gang Tengah (1937-1938).
Selama hidupnya, Sayuti pernah bergabung dengan organisasi pergerakan dan menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan Indonesia merdeka. Tercatat, Sayuti adalah anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dan setelah kemerdekan ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), menjadi anggota MPRS, DRP-GR pada masa Presiden Soekarno, menjadi anggota MPR dan DPR (1971-1977) pada masa Soeharto. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Sayuti pernah diasingkan. Pengasingan tersebut tak lain karena ia banyak melakukan gerakan yang melawan pemerintahan kolonial, dan banyak melakukan kritik lewat tulisan-tulisannya.
Pada tahun 1926, saat Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan pembrontakan, Sayuti ditangkap Belanda dengan tuduhan membantu PKI, baik melalui tulisannya maupun terlibat aksi dilapangan. Penangkapan itu berlanjut pada pengasingan terhadap Sayuti. Ia digabung ke Boven Digul (1927-1933) dan bergabung dengan tokoh-tokoh lainnya disana. Tahun 1936 ditangkap Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukan sel di Gang Tengah (1937-1938). Kemudian, tahun 1939-1941 dipenjarakan di Sukamiskin Bandung dan terlibat “Pers Delict”.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, Sayuti dipenjarakan lagi karena dituduh menyebarkan pamflet gelap PKI. Akhirnya, menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ia dibebaskan. Ia turut hadir dalam peristiwa perumusan naskah Proklamasi dan menjadi anggota susulan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
Pada masa sebelum Indonesia merdeka, dimana Sayuti sudah bebas dari pengasingan dan penjara itu, ia melakukan perjuangan di jalur anak muda yang lantang meneriakkan Indonesia segera terbebas dari segala bentuk penjajahan.
Sayuti tegabung dalam PPKI yang di bentuk 07 Agustus 1945 dan diketuai oleh Ir. Soekarno, menggantikan Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang dibubarkan cepat. Anggota awalnya adalah 21 orang. Selanjutnya, tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan enam orang termasuk Sayuti Melik. Sayuti Melik termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Soekarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945 (Peristiwa Rengasdengklok). Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota Pembela Tanah Air (PETA), dan pemuda lain, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang.
Saat konsep proklamasi Kemerdekaan dibuat oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subarjo di rumah Laksemana Muda Maeda, Sayuti bersama Sukarni menjadi wakil dari golongan pemuda. Saat konsep itu selesai dan dibacakan, terjadi perdebatan diantara mereka, terutama dari golongan pemuda yang kurang bisa menerima kalimatnya yang oleh mereka dianggap terpengaruh oleh Jepang. Dalam suasana tegang itu, Sayuti memberi gagasan, yakni agar teks proklamasi ditandatangani Bung Karno dan Bung Hatta saja, atas nama bangsa Indonesia. Usulnya diterima, Bung Karno pun segera memerintahkan Sayuti untuk mengetiknya. Ia mengubah kalimat “Wakil-wakil bangsa Indonesia” mejadi “Atas nama bangsa Indonesia”.
Setelah Indonesia merdeka, Sayuti Melik melanjutkan kiprah perjuangan di jalur resmi, yakni menduduki jabatan penting di pemerintahan. Ia menjadi anggota Komite Nasional Pusat (KNIP). Pada peristiwa Agresi Militer II Belanda di Yogyakarta pada tahun 1949, Sayuti ditangkap dan dipenjara di Ambarawa, dan dibebaskan setahun berdasarkan Konferensi Meja Bundar (KMB). Setelah itu, diangkat menjadi anggota MPRS dan DPR-GR sebagai Wakil angkatan 1945, dan menjadi Wakil Cendekiawan pada tahun 1950. Pada tahun-tahun itu, Sayuti beberapa kali melakukan semacam protes atas tindakan Presiden Soekarno, terutama saat Soekarno menggagas Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) sebagai ideologi Indonesia dan juga saat Soekarno diangkat menjadi Presiden seumur hidup oleh MPRS.
Terkait nasakom Sayuti mengusulkan Nasasos (nasionalisme agama sosialis). Penentangan sekaligus pengusulan Nasasos itu salah satu disampaikan melaui tulisan di beberapa Koran dan majalah dengan judul “Belajar Memahami Soekarnoisme”, yang berbicara tentang perbedaan ajaran Soekarno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Pada masa Orde Baru, Sayuti menjadi anggota DPR/MPR, mewakili Golkar hasil pemilu 1971 dan pemilu 1977. Dan Soeharto memberikan penghargaan bintang Mahaputra Adipradana (II) pada tahun 1973. Sebelumnya, Sayuti Melik pernah menerima bintang Mahaputra tingkat V pada tahun 1961 dari presiden Soekarno.Sayuti juga pernah mendapatkan piagam penghargaan atas jasanya dibidang jurnalistik dari persatuan wartawan Indonesia (PWI) pada tahun 1977, dan penghargaan Satya Penegak Pers dari PWI pusat pada tanggal 23 Desember 1982.
Itulah biografi singkat Sayuti Melik betapa banyaknya rintangan yang di hadapi oleh Sayuti demi untuk memperjungkan kemerdekaan Indonesian dengan semangat yang tinggi dapat kita simpulkan bahwa: “Kita tidak akan tumbuh, tanpa pernah mencoba sesuatu diluar kemampuan kita”. Sayuti Melik meninggal pada tanggal 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, dan di makamkan di TMP Kalibata.
Komentar
Posting Komentar